Zaman dahulu para eyang buyut kita sering melakukan kegiatan nginang. Nginang adalah sebutan dari tradisi makan sirih. Biasanya, sebelum dimakan sirih diramu terlebih dahulu dengan tembakau, kapur, gambir, dan buah pinang. Pada jaman dahulu, dalam tradisi jawa kuno mengunyah daun sirih hijau wajib hukumnya, terutama bagi kaum perempuan. Jadi budaya nginang adalah sebuah kebiasaan memakan sirih dan bahan campurannya yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Istilah popular yang dipakai untuk makan sirih adalah bersugi, bersisik, menyepah, nyusur, dan nginang.
Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa tradisi makan sirih berasal dari India, pendapat ini lebih didasarkan pada cerita-cerita sastra dan sejarah lisan. Namun, berdasarkan catatan perjalanan Marcopolo, kemungkinan besar tradisi ini berasal dari kepulauan Indonesia. Pernyataan Marcopolo tersebut seolah-olah mempertegas pernyataan dua penjajah sebelumnya yaitu Ibnu Batuta dan Vasco Da Gama, yang menyatakan bahwa ada masyarakat di sebelah timur (Indonesia) memiliki kegemaran makan sirih.
Budaya makan Pinang telah merasuk ke Indonesia di berbagai wilayah dari Sumatra, Jawa, Kalimantan hingga Papua. Namun karena efek yang di timbulkan setelah makan pinang berupa air liur yang terlihat merah dan jorok di tambah lagi dengan kehadiran rokok dan cemilan, maka budaya makan pinang ini kian lama kian terkikis.
Mitos tentang nginang memang sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Selain sudah menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan, banyak dari nenek-nenek kita yang mengatakan bahwa dengan menginang dapat membuat gigi dan gusi kita menjadi lebih sehat dan kuat, serta dapat menghilangkan bau mulut yang tidak sedap.
Gigi sehat dan kuat dimiliki oleh orang tua yang memiliki kebiasaan nginang, terjadi karena kandungan daun sirih dalam racikan nginang-nya itu. Daun sirih memiliki kemampuan sebagai antiseptic, antioksidan, dan fungisida. Menurut Hariana didalam bukunya yang berjudul Tumbuhan Obat dan Khasiatnya, daun sirih mengandung minyak atsiri sampai 4,2%, senyawa fenil propanoid dan tannin. Senyawa-senyawa ini bersifat antimikroba dan antijamur yang kuat dan dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri diantaranya Escherichia coli, Salmonella sp, Staphylococcus, dan dapat mematikan Candida albicans.
Ini didukung oleh Ditjen POM (1980) yang menyebutkan bahwa pada daun sirih dijumpai senyawa flavonoid dan tanin yang bersifat anti mikroba dan senyawa kavikol yang memiliki daya membunuh bakteri lima kali lebih kuat dari fenol biasa. Berarti daun sirih mampu menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh ketiga bakteri tersebut.
Sampai di sini, manfaat nginang belum terbantahkan. Namun masih ada satu komponen lagi yang pastinya kontroversial, yakni tembakau. Jika tembakau dikatakan berbahaya ketika dalam bentuk rokok, apakah hal yang sama berlaku juga dalam nginang?
Seperti dilansir dari sebuah penelitian pernah dilakukan oleh National Board of Health and Welfare (1997) untuk melihat hal itu. Ternyata pada smokeless tobacco (produk tembakau non-rokok) termasuk nginang, dijumpai risiko kesehatan yang sama dengan merokok meski sedikit lebih kecil.
Risiko penyakit jantung dan pembuluh darah pada smokeless tobacco meningkat 2 kali lipat dibandingkan ketika tidak mengonsumsi tembakau. Sedangkan pada rokok, risiko terebut menginkat 3 kali lipat.
Selain itu, smokeless tobacco dapat meningkatkan tekanan darah sehingga memperbesar risiko hipertensi. Hal yang sama juga terjadi pada rokok.
Karena dampak negatifnya lebih kecil, dalam hal ini nginang bisa dikatakan lebih aman dibandingkan rokok. Apalagi dampak tersebut hanya dialami oleh yang bersangkutan, tidak seperti rokok yang mengenal istilah perokok pasif.